Apa itu sutrah ? Hukum yang Sebenarnya tentang Sutrah, Wajib atau Sunah Pakai Penghalang saat Shalat?

 



Diantara sunnah yang mulai luntur di tengah kaum muslimin sekarang terkait ibadah shalat adalah menghadap sutrah ketika shalat. Sutrah adalah batas yang diletakkan di depan tempat sujud saat seseorang sedang menunaikan Shalat.

Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat memberikan pencerahan kepada umat mengenai sutrah dalam shalat.

Sutrah secara bahasa arab artinya apapun yang dapat menghalangi (lihat Qamus Al Muhith). Jadi sutrah adalah penghalang. Dalam ilmu fiqih, sutrah artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun, atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 3/176-177).

 

Bagaimana sebenarnya hukum sutrah (penghalang/pembatas di depan) shalat? Wajib ataukah sunah? Berikut pembahasannya.

 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

 

“Diriwayatkan dari Abu Sa’id, katanya: Aku mendengar Nabi SAW bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang dijadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. Jika ia enggan, maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan.” (HR Al-Bukhari No. 509).

 

Menghadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

 

إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

 

“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

 

juga hadits dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhani radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

 

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

 

“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain”).

 

Hukum Menghadap Sutrah



Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap sutrah ketika shalat. Dalam hal ini ada empat pendapat, yakni sebagai berikut:

 

1.     Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Asy Syaukani dan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.

2.     Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Malik

3.     Sunnah jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah.

4.     Sunnah bagi imam dan munfarid. Ini pendapat Hanabilah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/178, Tamaamul Minnah, 300).

Ulama yang cenderung wajib memakai sutrah bagi yang melaksanakan shalat, mereka itu berpegang teguh pada hadis yang memerintahan shalat menghadap kepada sutrah, seperti lafadz perintah فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap sutrah) dan juga lafadz فَلْيَسْتَتِرْ (bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib.

 

Alasan inilah yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Beberapa hadis yang menjelaskan bolehnya shalat tanpa menghadap kepada sutrah, dinilai oleh kelompok ulama ini sebagai hadis dhaif, yang tidak bisa dijadikan hujjah.

 

Sedangkan ulama lain, secara mayoritas (kebanyakan) berpendapat bahwa memakai sutrah ketika shalat itu hanyalah sunah, tidak wajib. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni bahkan mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat” (Al Mughni, 2/67).

 

Pandangan Ibnu Qudamah ini mendapatkan dukungan dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin yang menyatakan bahwa menggunakan sutrah dalam shalat itu tidak wajib. Ini pendapat mayoritas ulama. Sutrah itu bagian dari kesempurnaan shalat bukan dari syarat sahnya shalat. (Syahrul Mumthi’, III/276). Lebih lanjut al-‘Utsaimin menunjukkan dalil-dalil yang digunakan jumhur ulama tentang kesunnahan sutrah, yakni sebagai berikut:

 

1.     Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

 

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509)

perkataan Nabi ‘jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah‘ menunjukkan orang yang shalat ketika itu terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke sutrah.

 

 

2.     Hadis Ibnu ‘Abbas RA:

رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok.” (HR Al Bukhari 76, 493, 861)

3.     Hadis Ibnu ‘Abbas RA:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

“Rasulullah SAW pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa.” (HR Ahmad No. 1965, III/431, dan Al Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 3618, II/273).

 

Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas :

 

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa”

 

ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi Al Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq katsiirul khata’ wat tadlis” (shaduq, banyak salah dan banyak melakukan tadlis), dan di dalam sanadnya Al Hajjaj pun melakukan ‘an’anah. Namun hadits ini memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad (5/11, 104) dari Hammad bin Khalid ia berkata, Ibnu Abi Dzi’bin menuturkan kepadaku, dari Syu’bah dari Ibnu ‘Abbas ia berkata:

 

مَرَرْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي فَضَاءٍ مِنَ الْأَرْضِ ، فَنَزَلْنَا وَدَخَلْنَا مَعَهُ ، فَمَا قَالَ لَنَا فِي ذَلِكَ شَيْئًا

 

“Aku pernah di menunggangi keledai bersama Al Fadhl (bin Abbas) dan melewati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sedang shalat mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu”

 

Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu’bah, Ibnu Hajar berkata: “Ia shaduq, buruk hafalannya.” Menurut Syu’ayb al-Arnout hadis ini shahih (Musnad Ahmad, V/151).

 

Hadis ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya No. 718, dari Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits, ia berkata: “Ayahku menuturkan kepadaku, dari kakeknya, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari Abbas bin Ubaidillah, dari Al-Fadhl bin Abbas beliau berkata: “Rasulullah SAW pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada ‘Abbas. Lalu beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namun beliau tidak menghiraukannya.”

Dalam sanad hadits terdapat nama perawi Yahya bin Ayyub oleh Ibnu Ma’in dikatakan: tsiqah, sedangkan Abu Hatim Ar Razi menyatakan: ‘Ia menyandang sifat jujur, ditulis hadisnya namun tidak dapat berhujjah denganya.’ Ibnu Hajar mengatakan: ‘Ia shaduq, terkadang salah’. Insyaallah, statusnya shaduq. Karena itu dalam kitab al-Dirayah Ibn Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut shahih (al-Dirayah Fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, I/180).

 

Adapun perawi yang lain tsiqah. Namun riwayat ini, menurut al-Albani, memiliki illah (cacat), yaitu adanya inqitha pada Abbas bin Ubaidillah dari Al-Fadhl. Ibnu Hazm dan Al-Syaukani menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan pamannya yaitu Al Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini lemah dalam pandangan Al-Albani.

 

Dua jalan (hadis) di atas sudah cukup mengangkat derajat hadis Ibnu ‘Abbas tersebut ke derajat hasan li ghairihi. Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (III/431).

 

Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai syahid dengan sanad yang lebih shahih (al-Sunan al-Kubra, II/273). Hal ini menjadi dalil yang cukup kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunah. Secara umum dikatakan oleh Syekh al-‘Utsaimin bahwa dalil-dalil jumhur ulama yang memalingkan hukum wajib kepada sunah adalah yang lebih kuat (Al-Syarh al-Mumti ‘Ala Zad al-Mustaqni’, III/277).

 

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga berpendapat bahwa memakai sutrah pada saat shalat itu hanyalah sunah (tidak wajib) bagi seorang imam dan orang yang shalat secara munfarid/sendirian.

Wallahu a’lam!

 

 

0 Comments