orang-orang
lewat di depan orang shalat kerap dijumpai ketika di musholla atau di masjid.
Biasanya itu terjadi ketika saf tidak rapat dan keadaan tidak sedang salat
berjamaah. Beberapa orang yang baru masuk melewati orang yang sedang shalat
menuju tempat di depannya.
Lantas, apa
hukumnya lewat di depan orang shalat atau berdiri di depan orang shalat?
Melansir dari berbagai sumber, dalam perkara ini tak ada perbedaan pendapat di
antara para ulama.
Dalam hadits
dijelaskan:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ
بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا
لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً
“Kalau saja
orang yang berjalan di depan orang shalat tahu sesuatu (dosa) yang akan ia
dapatkan, maka sungguh berdiam (menunggu selesai shalat) selama 40 lebih baik
baginya daripada berjalan di depan orang yang shalat. Abu Nadhar (Rawi)
berkata, 'Saya tidak tahu apakah Rasulullah berkata 40 hari, bulan, atau
tahun'.” (HR. Bukhari)
Hadits di
atas secara tegas menunjukkan bahwa lewat di hadapan orang yang sedang shalat
adalah perbuatan yang sangat tidak dianjurkan. Namun yang patut ditanyakan,
apakah melewati orang yang sedang shalat adalah larangan yang sampai terkena
hukum haram, atau hanya sebatas makruh?
Sebelumnya
patut dipahami bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah
melewati di jalan antara tubuh orang yang sedang shalat dengan sutrah (penghalang)
yang dijadikan sebagai pembatas. Misalnya, melawati di tengah sajadah-sajadah
orang yang sedang shalat, sebab sajadah merupakan contoh dari sutrah, sehingga
melewati jalan yang sudah keluar dari batas sutrah adalah hal yang
diperbolehkan.
Shalat Dengan Menggunakan Sutrah
Tidak ada
perbedaan di antara para ulama bahwa lewat di depan sutrah hukumnya tidak
mengapa dan lewat di tengah-tengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya
hukumnya tidak boleh dan orang yang melakukannya berdosa (Mausu’ah Fiqhiyyah
Kuwaitiyyah, 24/184). Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri
radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ
أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
“Jika salah
seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap
orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan
sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras,
karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505)
Juga sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“Janganlah
shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu,
jika ia enggan dilarang maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya
bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani
dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist
ini terdapat dalam Shahih Muslim).
Dengan
demikian kita tidak boleh lewat diantara orang yang shalat dengan sutrahnya,
hendaknya kita mencari jalan di luar sutrah, atau lewat belakang orang yang
shalat tersebut, atau mencari celah antara orang yang shalat, atau cara lain
yang tidak melanggar larangan ini.
Shalat Tanpa Menggunakan Sutrah
Demikian juga
terlarang lewat di depan orang yang sedang shalat walaupun ia tidak menghadap
sutrah, orang yang melakukannya pun berdosa. Berdasarkan hadits dari Abu Juhaim
Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا
عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ
بَيْنَ يَدَيْهِ
“Andaikan
seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya
perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari
pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)
Namun para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي
(di depan orang yang shalat) yaitu berapa batasan jarak di depan orang shalat
yang tidak dibolehkan lewat? Dalam hal ini banyak pendapat yang dinukil dari
para ulama:
1. Tiga hasta dari kaki orang yang
shalat
2. Sejauh lemparan batu, dengan lemparan
yang biasa, tidak kencang ataupun lemah
3. Satu langkah dari tempat shalat
4. Kembali kepada ‘urf, yaitu tergantung
pada anggapan orang-orang setempat. Jika sekian adalah jarak yang masih
termasuk istilah ‘di hadapan orang shalat’, maka itulah jaraknya.
5. Antara kaki dan tempat sujud orang
yang shalat
Yang
dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah antara kaki dan
tempat sujud orang yang shalat. Karena orang yang shalat tidak membutuhkan
lebih dari jarak tersebut, maka ia tidak berhak untuk menghalangi orang yang
lewat di luar jarak tadi (Syarhul Mumthi’, 3/246).
Dengan
demikian jika ingin lewat di depan orang yang shalat yang tidak menggunakan
sutrah hendaknya lewat diluar jarak sujudnya, dan ini hukumnya boleh.
Shalat Berjama’ah
Ketika
sedang sholat berjamaah, terkadang kita mendapati seseorang dengan sengaja
melintas di depan orang yang sedang sholat. Bolehkah kita melintas di depan
orang yang sedang melaksanakan sholat?
Syekh Kamil
Muhammad Uwaidah dalam Fiqh an-Nisaa menyebutkan, tidak boleh seorang Muslim,
baik laki-laki maupun perempuan berjalan di hadapan orang yang sedang
mendirikan sholat, kecuali jika ada atau terdapat sutrah (pemisah) di
antaranya.
Namun, tidak
diperkenankan berjalan di balik sutrah itu. Rasul SAW juga mengecam orang yang
suka berlalu lalang di hadapan orang yang sedang mendirikan sholat. Sebab, pada
hakikatnya, orang yang sholat itu sedang berhadapan dengan Allah SWT.
Pada tulisan
sebelumnya, telah dijelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa makmum dalam shalat
jama’ah tidak disunnahkan untuk membuat sutrah. Sutrah imam adalah sutrah bagi
makmum. Namun apakah boleh seseorang lewat di depan para makmum? Atau bolehkah
lewat diantara shaf shalat jama’ah? Dalam hal ini ada dua pendapat diantara
para ulama :
1. Hukumnya tidak boleh, berdasarkan
keumuman larangan dalam hadits Abu Juhaim. Selain itu gangguan yang ditimbulkan
oleh orang yang lewat itu sama baik terhadap orang yang shalat sendiri maupun
berjama’ah.
2. Hukumnya boleh berdasarkan perbuatan
Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, sebagaimana yang diriwayatkan dalam
Shahihain, Ibnu Abbas berkata,
قْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ
قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ
الصَّفِّ ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ ، وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ
فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang
dengan menunggang keledai betina. Ketika itu aku hampir menginjak masa baligh.
Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka aku
lewat di depan sebagian shaf. Kemudian aku melepas keledai betina itu supaya
mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada
seorang pun yang mengingkari perbuatanku itu” (HR. Al Bukhari 76, Muslim 504).
Perbuatan
sahabat Nabi, jika diketahui Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan banyak
sahabat namun tidak diingkari, maka itu adalah hujjah (dalil). Dan ini
merupakan sunnah taqririyyah, sunnah yang berasal dari persetujuan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap sebuah perkataan atau perbuatan. Sehingga
sunnah taqririyyah ini merupakan takhsis (pengkhususan) dari dalil umum hadits
Abu Juhaim.
Yang shahih,
boleh lewat di depan para makmum shalat jama’ah, yang melakukan hal ini tidak
berdosa dengan dalil perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Namun andaikan
bisa menghindari atau meminimalisir hal ini, itu lebih disukai. Karena
sebagaimana jika kita shalat tentu kita tidak ingin mendapatkan gangguan
sedikit pun, maka hendaknya kita pun berusaha tidak memberikan gangguan pada
orang lain yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا يؤمنُ أحدُكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه
“tidak
beriman seseorang sampai ia menyukai sesuatu ada saudaranya sebagaimana ia
menyukai sesuatu itu ada pada dirinya”
(lihat
Syarhul Mumthi, 3/279).
0 Comments