Sultan
Mehmed II atau kemudian populer dengan nama Muhammad Al-Fatih merupakan salah
satu panglima perang Islam terkemuka. Kemasyurannya disandingkan dengan
kemasyuran panglima Islam lain, Shalahuddin al-Ayyubi –yang di dunia barat
dikenal dengan nama Sultan Saladin.
Mehmed
mendapat julukan Muhammad Al-Fatih setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel
pada 1453. Mehmed merupakan penguasa Utsmani ke tujuh (1444-1446 M).
Muhammad
al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling
terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih
adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri
atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.
Sultan
Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia
juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan
Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting
adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke
dalam Kerajaan Utsmani.
Karakter Seorang Pemimpin Yang
Ditanamkan Sejak Kecil
Dilahirkan
pada 30 Maret 1432 di Edirne, ibu kota Utsmaniyah, Mehmed adalah anak Sultan
Murad II. Saat masih belia, 11 tahun, ia dikirim untuk memerintah Amasya.
Sebagai anak Sultan, ia banyak mendapat ilmu. Ia menguasai sedikitnya enam
bahasa. Salah satu guru Mehmed adalah Syaikh Muhammad Syamsuddin bin Hamzah.
Ulama terkemuka inilah yang mempengaruhi Mehmed pentingnya menaklukkan
Konstantinopel yang dikuasai Kekaisaran Romawi Timur dan menjadi salah satu
pusat gereja Ortodok.
Sultan Murad
II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah
hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian
tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran
30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu
falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai
bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia
21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin,
dan Yunani, luar biasa!
Walaupun
usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan
Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan
sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang
besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang
mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.
Menjadi Penguasa Utsamani
Pada 1444
Sutan Murad menyerahkan kekuasaannya pada Mehmed yang saat itu masih 12 tahun.
Pada periode pertama kekuasaannya, Utsmani diserang pasukan Hongaria. Mehmed
meminta ayahnya kembali naik tahta. Tapi Murad menolak. Mendapat jawaban
seperti ini, Mehmed kemudian mengirim surat kepada Murad. “Jika ayah Sultan
pimpinlah pasukan melawan musuh, jika saya yang Sultan, saya perintahkan ayah
untuk memimpin pasukan melawan musuh.”
Murad
akhirnya mematuhi perintah Mehmed. Ia memimpin pasukan Ustamania melawan
koalisi tentara Hongaria, Polandia dan Wallachia. Pada 1444, pada pertempuran di
Varna pasukan Hongaria dan sekutunya berhasi dikalahkan Murad. Murad kemudian
naik tahta lagi hingga 1451 -sampai wafat- dan kemudian digantikan Mehmed. Mehmed dilantik menjad Sultan pada usia
19 tahun.
Menaklukkan Bizantium
Langkah
pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah
melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia
memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara
tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut
bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah
tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.
Sultan
Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung
Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan
Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang
berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran
pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Pertahanan
yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh
mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai
yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh
benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.
Akhirnya
Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar
bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para
pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev
menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya
kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh
orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih
cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah
meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat
singkat, tidak sampai satu malam.
Di pagi
hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan
Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70
kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon
besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu
malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang
terjadi.
Peperangan
dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan
Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan
kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum
muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur.
Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan
al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia
dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.
Kaisar
Konstantinus XI meninggal pada hari penaklukan. Penguasa terakhir
Konstantinopel tersebut dikabarkan tewas bersama pasukannya yang tersisa.
Setelah menalukkan Konstantinopel, Mehmed kemudian memindahkan ibu kota Utsmani
dari Erdiner ke Konstantinopel.
Saat
memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud
sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia
dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai
ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya
menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan
menjadi Istanbul.
Selain itu,
Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam
sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu, salah seorang
sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang
Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Apa yang
dilakukan oleh Sultan Muhammad tentu saja bertentangan dengan syariat,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ
قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ
مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
“…
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan
Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian
menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu
melakukan perbuatan itu.” (HR. Muslim no.532)
Kekeliruan
yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tidak serta-merta membuat kita menafikan
jasa-jasanya yang sangat besar. Semoga Allah mengampuni kesalahan dan
kekhilafannya beliau rahimahullah.
Setelah itu
rentetat penaklukkan strategis dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih; ia
membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil,
dll. bahkan ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk
menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, akan tetapi kematian telah
menghalanginya untuk mewujudkan hal itu.
Peradaban Yang Di Bangun Pada Masanya
Walau
menguasai Konstantinopel, Mehmed tidak lantas menghancurkan bangunan gereja di
sana. Ia membiarkan gereja Ortodok Haga Sophia tetap berdiri, membiarkan
simbol-simbol kristen di dalamnya dan hanya menutup simbol-simbol itu dengan
simbol Islam. Gereja yang sudah berumur seribu tahun itu menjadi masjid hingga
1932 sebelum kemudian diubah menjadi museum oleh Presiden Turki Mustafa Kemal
Ataturk.
Selama
memerintah, dari 1451-1484, Muhammad Al-Fatih telah membangun sedikitnta 300
masjid di Istanbul. Salah satu masjid yang termasyur adalah Masjid Biru yang
letaknya tak jauh dari Haga Sophia dan hanya dipisahkan sebuah taman air mancur
yang indah.
Wafatnya Sang Penakluk
Pada bulan
Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul
untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah
perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter
pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat
bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4
Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan
memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih
karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.
Tidak ada
keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak
membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk
menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.
Sebelum
wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan
Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu
dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan
kerajaan.
0 Comments