Ali bin Abi Thalib
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad
SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang
Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi.
Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya
yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya,
panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian,
julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal
Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di
daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M.
Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama
aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin
Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun
sebelum hijrah atau 601 M.
Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima
tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati
Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW.
Diantara usia 8 hingga 16 tahun, ia menyaksikan awal turunnya
wahyu kenabian. Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang yang mula-mulai
memeluk Islam atau dikenal dengan golongan Assabiqun Al-Awwalun.
Golongan inilah yang pertama kali mengakui bahwa Muhammad SAW
adalah utusan Allah SWT dan mereka dijamin masuk surga, termasuk Ali bin Abi
Thalib. Di kalangan pemuda Arab, Ali adalah pemuda pandai. Di masa itu, amat
jarang ada orang yang bisa membaca dan menulis, termasuk Nabi Muhammad SAW
adalah sosok ummi atau buta huruf. Karena itulah, Ali bin Abi Thalib menjadi
juru tulis Nabi Muhammad SAW.
Ali sering kali menuliskan surat yang didiktekan Rasulullah
SAW. Karena kepandaiannya itu, Ali bin Abi Thalib mendapat julukan Babul Ilmi
atau Gerbang Pengetahuan.
Rasulullah SAW bersabda, "Aku adalah pintunya ilmu, dan
Ali adalah kuncinya". Ya, Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah merupakan
sahabat dan menantu Baginda Nabi.
Dikisahkan, Nabi Muhammad SAW merupakan pintu ilmu yang
sangat luas. Ia sebagai bekal dunia akhirat sebagaimana pernah disabdakan,
kunci ilmu dimiliki oleh sahabat Ali. Hati mana yang tak penasaran mendengar
sabda Rasul tersebut.
Gerombolan orang-orang Khawarij mereka gusar tiada tara
tatkala mendengar kabar hadits ini. Kemudian mendorong mereka berniat menguji
kebenaran hadis kepada Rasulullah secara langsung. Dikumpulkanlah tujuh orang
dari golongan mereka.
"Jika Ali sebagai kunci ilmu, maka ketika kita beri
pertanyaan yang sama tentu jawabannya juga sama". Salah seorang dari
mereka mengawali pembicaraan. "Ya, benar kamu. Tidak mungkin seseorang
yang dianggap kuncinya ilmu akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda.
Jika memang benar ia kuncinya ilmu," yang lain menimpali.
Disusunlah strategi, rencana matang disusun, "mari kita
uji dengan memberikan pertanyaan yang sama, namun dari orang yang
berbeda-beda," usul salah seorang dari ketujuh khawarij tersebut. Mereka
berakhir pada kata sepakat. Pertanyaan yang akan diajukan, antara ilmu dan
harta, manakah yang lebih utama?
Setelah mereka memberikan pertanyaan yang sama. Mereka
mendapat jawaban yang sama pula. Antara ilmu dan harta, yang lebih utama adalah
ilmu. "Tapi tunggu dulu, apakah Ali juga memberikan alasan tentang
jawabannya?" tanya salah seorang dari mereka. "ya, benar" timpal
mereka bersama-sama. "Apa itu?".
"Kalau ilmu menjagamu. Namun, harta, engkau yang harus
menjaganya," orang pertama dari kelompok khawarij menyampaikan alasan yang
dikemukakan sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. "Jika ilmu
adalah warisan nabi, harta adalah warisan Qorun yang terkutuk". Orang
kedua menambahi kemudian "ilmu jika ditasarufkan, akan bertambah. Sedang
harta, jika ditasarufkan akan berkurang," tambah orang ketiga menyampaikan
kutipan argumentasi yang ia terima.
Mereka mulai heran akan jawaban yang berbeda-beda. "Andai
kau memilih ilmu, kau akan mendapat julukan yang baik, namun jika harta,
julukan buruk yang kau dapat," demikian orang keempat menjelaskan. Mereka
semakin ragu akan alasan yang berbeda-beda.
"Ilmu itu menerangi hati, sedangkan harta mengeraskan
hati," "Ilmu jika dibiarkan tidak apa-apa, namun harta jika dibiarkan
akan rusak", "ilmu ketika di hari kiamat akan menolongmu, namun harta
akan menjadi penyebab lamanya hisab di hari kiamat." Demikian mereka
bergantian menyampaikan.
Sejenak, mereka tertegun akan alasan yang berbeda-beda.
Bagaimana mungkin, pertanyaan yang diberikan kepada orang satu, menghasilkan
jawaban yang memiliki alasan-alasan tersendiri.
Namun, dengan cepat mereka tersadar akan keutamaan ilmu yang
dimiliki sahabat Ali bin Abi Thalib. Alasan demi alasan yang diutarakan sahabat
Ali bin Abi Thalib berbeda, namun antara satu dan lainnya saling menguatkan,
antara ilmu dan harta lebih utama ilmu.
Setelah masa hijrah, Ali bin Abi Thalib menikah dengan putri
Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra. Ia sangat mencintai istrinya itu,
sampai-sampai ia tidak menikah dengan perempuan lain ketika Fatimah masih
hidup.
Kemudian, setelah Fatimah meninggal, barulah Ali menikah dengan perempuan-perempuan lain, mencakup Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais. Dari istri-istrinya itu, Ali bin Abi Thalib memperoleh 23 anak, terdiri dari 15 anak laki-laki dan 18 anak perempuan.
Ciri-ciri fisik Ali bin Abi Thalib. Dari perawakannya, ia memiliki tinggi sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Perutnya agak menonjol, lehernya berisi, kedua lengannya berotot. Sementara itu, wajahnya tampan, matanya besar, dan janggutnya lebat. Kepalanya botak dan berambut di pinggir kepala.
Kulit Ali bin Abi Thalib tergolong amat gelap. Usai
meninggalnya Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib merupakan sosok penting
dalam pemerintahan Islam. Selepas kekuasaan politik bergulir dari Abu Bakar,
Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, tampuk kekekhalifahan jatuh ke
pundaknya.
Ali bin Abi Thalib kemudian resmi menjadi khalifah keempat
pada 35 H. Ia berkuasa sekitar lima tahun, sejak 35 hingga 40 H (655-660 M).
Ali bin Abi Thalib meninggal pada Ramadan 40 H ketika salat di Masjid Agung Kufah. Ia diserang oleh Abdurrahman bin Muljam dengan pedang yang diberi racun. Ketika sedang sujud salat subuh, Abdurrahman bin Muljam menusuk Ali bin Abi Thalib, yang berakhir dengan meninggalnya khalifah keempat ini, sekaligus penutup Kekhalifahan Rasyidin.
0 Comments