Perkembangan peradaban umat Islam pada periode
klasik, tidak dapat kita lepaskan dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Islam
mengajarkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, berangkat dari ajaran tersebut
beberapa pemimpin Islam pada masa klasik memandang ilmu pengetahuan sebagai aspek terpenting
bagi kemajuan suatu peradaban. Dari pemahaman seperti itu, tidak mengherankan
banyak wilayah Islam pada masa klasik muncul sebagai pusat peradaban dunia pada
masanya. Salah satu pusat peradaban dunia yang terkenal pada masa klasik adalah
peradaban Islam di Baghdad pada masa kejayaan Abbasiyah.
Dimulai dari masa pemerintahan Harun Al-Rasyid,
hingga anaknya Al-Makmun. Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah tersebut menjelma
menjadi pusat pemerintahan yang menawarkan kemajuan peradaban bagi masyarakat
dunia. Banyak ilmuwan-ilmuwan muslim luar biasa yang muncul pada masa itu.
Kehadiran Baghdad layaknya oase untuk
kegersangan keilmuwan pada masa klasik, sehingga tidak mengherankan orang-orang
dari penjuru dunia berbondong-bondong menuju Baghdad untuk mencari ilmu di
sana. Kemajuan keilmuwan juga dibarengi dengan kemajuan di sektor perdagangan,
dan sistem perpajakan yang akan dipaparkan lebih lanjut pada pembahasan kali
ini.
Baghdad: Pusat
Kejayaan Abbasiyah
Periode kejayaan dinasti Abbasiyah dimulai sejak
masa kekhalifahan al-Mahdi (775-785) hingga al-Wathiq (842-847), dan mencapai
puncaknya secara khusus pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan
putranya al-Makmun (813-833). Pada masa Harun al-Rasyid Baghdad mulai muncul
sebagai pusat peradaban dunia, dengan tingkat kemakmuran dan peran
internasional yang luar biasa.
Baghdad menjadi saingan satu-satunya bagi Bizantium.
Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Kemegahan
Baghdad mencapai puncaknya pada masa al-Rasyid, dengan julukan Baghdad sebagai
“kota melingkar”. Sementara itu kemajuan keilmuwan Baghdad mencapai puncaknya
pada masa al-Makmun, dengan didirikannya Baitul Hikmah sebagai pusat
perpustakaan dan kajian keilmuwan.
Kemegahan Baghdad tercermin dari bangunan istananya,
istana khalifah menempati sepertiga ruang kota Baghdad. Bagian istana yang
paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi dengan karpet,
gorden, dan bantal terbaik dari Timur.
Harun al-Rasyid merupakan khalifah yang sangat
mencintai keilmuwan, dia begitu senang bergaul dengan orang-orang berilmu,
selain itu dia selalu mengagunggkan perintah dan larangan Allah. Dia tidak
menyukai perdebatan dalam masalah agama, dan tidak suka membicarakan sesuatu
yang tidak jelas nashnya.
Meskipun hidup di istana yang sangat megah, al-Rasyid
merupakan pemimpin yang dikenal dengan kedermawanannya. Dia tidak segan-segan
memberikan sedekah dalam jumlah banyak bagi orang-orang yang membutuhkan.
Kebesaran al-Rasyid, menjadi contoh ideal kerajaan Islam dan penerusnya.
Sifat dan perilaku yang sama juga tergambarkan pada
putra al-Rasyid, yaitu al-Makmun. Al-Makmun merupakan sosok yang begitu
mencintai literatur-literatur keilmuwan, bahkan dia menugaskan orang-orangnya
untuk mencari literatur-literatur kuno ke penjuru dunia. Meskipun demikian
banyak sejarawan yang dengan ceroboh menggambarkan kedua pemimpin saleh
tersebut sebagai pribadi buruk yang senang mabuk-mabukan.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, dengan keras
menentang pendapat tersebut. Al-Rasyid dan al-Makmun merupakan pemimpin saleh
yang menjauhkan diri dari khamr, mereka hanya mengkonsumsi perasan kurma yang
pada masa itu memang tidak melanggar syari’at agama. Sehingga, mereka sama
sekali tidak pernah mabuk karena khamr.
Kemegahan istana dan harta yang melimpah pada masa
al-Rasyid, juga sering disalah gunakan
saudara-saudaranya untuk berfoya-foya. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh
‘Ulayyah, saudara perempuan al-Rasyid. ‘Ullayah menjadi wanita pertama yang
menggenakan pengikat kepala berhiaskan permata, hanya untuk menutupi bekas luka
di dahinya.
Baghdad sempat mengalami kehancuran, ketika terjadi
perang saudara antara al-Makmun, al-Amin, dan pamannya Ibrahim ibn al-Mahdi.
Perang yang dipicu keserakahan al-Amin, yang tidak melaksanakan amanat ayahnya
Harun al-Rasyid, untuk memberikan otonomi wilayah kekuasaan Abbasiyah bagian
timur kepada al-Makmun.
Tidak lama setelah itu, saat al-Makmun menjadi
Khalifah, Baghdad kembali bangkit menjadi pusat perdagangan dan intelektual.
Pada masa ini, sepajang pelabuhan ditambatkan ratusan kapal dari penjuru dunia.
Tujuan mereka selain berdagang, banyak juga yang mempunyai tujuan untuk mencari
ilmu.
Para pedagang memainkan peranan utama, bagi
perkembangan perekonomian Baghdad. Selain itu, para pekerja professional
dokter, pengacara, guru, penulis, dan sebagainya mulai mendapatkan kedudukan
penting pada masa al-Makmun.
Kemegahan Baghdad selain tergambarkan dari
literatur-literatur sejarah, juga masih dapat kita temukan pada karya-karya
sastra yang terkenal hingga sekarang. Mulai dari cerita seribu satu malam,
hingga cerita jenaka Abu Nawas, seorang penyair kesayangan al-Rasyid.
Kemajuan
Ekonomi Daulah Abbasiyah
Sama seperti kemajuan negeri-negeri terdahulu,
ekonomi menjadi salah satu faktor terpenting bagi kejayaan suatu imperium. Hal
yang sama juga berlaku pada masa imperium Abbasiyah. Ekonomi imperium Abbasiyah
digerakkan oleh perdagangan, dengan Baghdad menjadi pusatnya.
Sektor industri yang berasal dari daerah-daerah
kekuasaan Abbasiyah, menjadi aspek penting bagi geliat perdagangan Abbasiyah.
Tercatat kain linen di Mesir, sutra dari Syria, dan Irak, kertas dari
Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir, dan kurma
dari Irak.
Bersamaan dengan kemajuan daulah Abbasiyah, dinasti
T’ang di China juga mengalami periode kejayaan, sehingga hubungan perdagangan
antara kedua imperium menambah semarak kegiatan perdagangan dunia. Banyak
kapal-kapal China yang bersandar di pelabuhan Baghdad, begitu juga banyak
perkampungan Arab di pelabuhan China.
Selain melalui jalur laut, perdagangan juga
dilakukan memalui darat melewati Jalan Sutra. Dari sana, barang-barang dagangan
dari Abbasiyah dikirim ke wilayah China dan India. Barang-barang dari Eropa pun
harus melalui bandar perdagangan Abbasiyah, jika ingin mengirimkan barang ke
China dan India. Begitulah gambaran perekonomian Abbasiyah, yang menjadi faktor
kemajuan imperium tersebut.
Sistem
Pemerintahan Abbasiyah Periode Kejayaan
Di bawah Khalifah, Jabatan Wazir memainkan peran
vital dalam struktur pemerintahan Abbasiyah. Memasuki abad ke-9, jabatan Wazir
telah berkembang menjadi kepala pemerintahan, dengan berbagai macam tugas
seperti mengontrol birokrasi, menyeleksi petugas-petugas gubernur, dan terlibat
di dalam kewenangan pengadilan Mazalim.
Pengembangan fungsi dan jabatan pemerintahan pusat
pada intinya merupakan usaha memusatkan kekuasaan imperium, dan khalifdah
semakin mudahmengendalikan, dan menjalin komunikasi dengan wilayah-wilayah
provinsi dai kota Baghdad.
Selain kecenderungan pemerintah yang bersifat
memusat ini, wilayah provinsi yang ada tidak seluruhnya diperintah oleh
birokrasi. Terdapat peringkat pengontrolan pada tingkatan tiap provinsi, ada
yang dikontrol langsung oleh pemerintah ada pula yang secara longgar kurang
mendapatkan kontrol pemerintah.
Beberapa provinsi yang dikontrol secara langsung
adalah Irak, Mesopotamia, Mesir, Syria, Iran Barat dan Khuzistan yang secara
geografis sangat dekat dengan Baghdad. provinsi-provinsi tersebut diorganisir
untuk menumbuhkan kepatuhan kalangan pejabat terhadap kehendak pemerintah
pusat, dan menjamin penyetoran pajak wilayah provinsi kepada pemerintah pusat.
Jabatan Gubernur relatif pendek, untuk mencegah pengembangan dukungan lokal
yang dapat digunakan untuk memberontak.
Selain pemerintahan yang diperintah secara langsung
terdapat beberapa daerah yang tidak mungkin dikontrol oleh pemerintah pusat.
Secara Geografis, provinsi-provinsi itu terletak di dataran tinggi
Caspian-Jilan, Provinsi-provinsi di Asia Tengah, dan sebagian besar provinsi
Afrika Utara. Di wilayah-wilayah tersebut, Khalifah hanya membentuk sebuah
garnisun untuk mengawasi pengumpulan pajak dan upeti.
Pemerintahan daerah diorganisir untuk kepentingan
pajak. Beberapa survei dilakukan di kampung-kampung untuk memastikan jumlah
tanah pertanian, jenis tanaman, dan target panen, selanjutnya informasi ini
disampaikan ke pemerintah pusat. Pajak dari seluruh daerah haruslah dapat
diperkirakan sebelumnya, sebagain untuk kepentingan masing-masing daerah.
Administrasi yang hirakris ini tidak mencakup
seluruh tanah garapan. Sejumlah tanah pertanian, termasuk perkebunan imperium
Timur Tengah yang terdahulu, properti gereja, tanah-tanah liar, dan tanah yang
disita oleh khalifah, tidak termasuk bagian dari dari administrasi provinsial.
Sistem perpajakan yang maju ini juga turut serta mendorong kemajuan imperium
Abbasiyah.
Kebangkitan
Intelektual Daulah Abbasiyah
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, kejayaan
dinasti Abbasiyah tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan intelektual pada masa
itu. Kebangkitan intelektual sebagian besar disebabkan oleh masuknya berbagai
pengaruh asing, sebagian dari Indo-Persia dan Suriah, dan yang paling dominan
dari pengaruh Yunani.
Gerakan intelektual ini ditandai oleh gerakan
penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sansakerta, Suriah, dan Yunani ke
bahasa Arab. Sebenarnya, gerakan penerjemahan telah dimulai sejak masa dinasti
Umayyah. Gerakan penerjemahan semakin berkembang pada masa dinasti Abbasiyah,
jika pada masa Umayyah metode penerjemahan dilakukan per-kata maka pada masa
Abbasiyah penerjemahan dilakukan per-kalimat. Dari metode ini, terjemahan
menjadi lebih mudah untuk dipahami.
Pada masa awal kebangkitan penerjemahan, bahasa
Yunani diterjemahkan ke bahasa Syria, baru kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. hal ini dikarenakan para penerjemah biasanya berasal dari pendeta
Kristen Syria yang hanya memahami bahasa Yunani, dan bahasa Syria.
Dengan semakin gencarnya gerakan penerjemahan,
semakin memperkaya literatur-literatur ilmu pengetahuan, filsafat, dan sastra
dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab Islam yang sebelumnya tidak terlalu
mempunyai keingintahuan yang tinggi,
menjelma menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua.
Hanya dalam waktu beberapa tahun sarjana-sarjana
Arab telah mampu menyerap ilmu dan budaya yang dikembangkan selama berabad-abad
oleh orang Yunani. Selain Yunani, peradaban lain yang banyak berpengaruh pada
pembentukan budaya universal Islam adalah budaya India, terutama dalam bidang
mistiisme, astronomi dan matematika. Sementara untuk bidang sastra, pengaruh
Persia begitu dominan dalam perkembangan sastra Abbasiyah.
Titik tertinggi pengaruh Yunani terjadi pada masa
al-Makmun. Kecenderungan rasionalistik khalifah dan para pendukungnya dari
kelompok Muktazilah, yang menyatakan bahwa teks-teks keagamaan harus
bersesuaian dengan nalar manusia, mendorongnya untuk mencari pembenaran bagi
pendapatnya itu dari karya-karya filsafat Yunani.
Tidak lengkap rasanya membahas gerakan penerjemahan
masa Abbasiyah, tanpa membahas tokoh utama penerjamahan masa itu. Ketua
penerjemahan masa keemasan Abbasiyah adalah Hunayn ibn Ishaq, seorang penganut
sekte Ibadi dari Kristen Nestor. Dia merupakan pelopor penerjemahan langsung
dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Salah satu keberhasilannya adalah
menerjemahkan tujuh buku Galen tentang anatomi, yang versi Yunaninya tidak
ditemukan lagi pada masa berikutnya. Selain karya Galen, karya Plato, Republik
dan Aristoeles, Categories termasuk beberapa literatur Yunani yang berhasil ia
terjemahkan.
Baitul Hikmah:
Pusat Kajian Keilmuwan Masa Kejayaan
Abbasiyah
Pada masa pemerintahan al-Makmun, dia membangun Bayt
al-Hikmah (rumah kebikjasanaan), sebuah perpustakaan, akademi, dan biro
penerjemahan, yang dalam hal ini merupakan lembaga pendidikan paling penting
pada masanya.
Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi
serupa di masa Imperium Sasania Persia, yang bernama Jundishapur Academy.
Tetapi berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan
karya-karya sastra, pada masa Abbasiyah fungsi institusi ini diperluas.
Baitul Hikmah telah dirintis sejak 815 M, kemudian
Baitul Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang didapat dari berbagai penjuru dunia, dari Bizantium hingga
India. Di institiusi ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa
al-Khawarizmi yang terkenal sebagai ilmuwan muslim di bidang matematika dan
astronomi.
Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul
Hikmah. Direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis
Persia, dan ahli Pahlewi, Sahl ibn Harun. Sehingga pada masa al-Makmun Baitul
Hikmah selain sebagai perpustakaan, berkembang menjadi pusat kegiatan studi, dan
penelitian. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa Baitul Hikmah memberikan
kontribusi luar biasa bagi perkembangan keilmuwan muslim pada masanya.
0 Comments