Nama Khalid bin
Walid cukup populer dalam historiografi Islam awal sebagai panglima perang yang
gagah berani dan kerap memenangi pertempuran. Rasulullah sendiri menjuluki
sahabatnya ini dengan sebutan “saifullah” yang berarti pedang Allah.
Dalam Islam, perang
diperbolehkan sepanjang untuk pertahanan diri. Agama samawi ini melarang
pemeluknya melakukan penyerangan kepada siapa pun, bahkan dengan alasan
menyebarkan Islam sekalipun. Dengan demikian, peperangan merupakan jalan
terakhir ketika jalur dialog dan nonkekerasan buntu dan umat Islam sedang
terancam keselamatannya bila tidak membela diri. Ringkasnya, bagi Islam perang
adalah sikap defensif demi mempertahankan hak, bukan ofensif meski atas nama
dakwah atau ekspansi ajaran.
Dalam konteks itu
Khalid bin Walid adalah pahlawan di pihak Islam yang membela habis-habisan dari
aksi kaum munafik dan kafir pada zaman awal dakwah Rasulullah. Jangan
dibayangkan dikotomi kafir-muslim saat itu sekadar pluralitas keberagamaan
layaknya di negara damai seperti Indonesia saat ini. Suasana yang berlangsung
kala itu adalah suasana perang. Nabi Muhammad sedang dimusuhi, dakwahnya
dijegal, bahkan berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan. Para pengikut
beliau pun banyak yang terusik kenyamanan dan keamanannya.
Pujian Rasulullah
kepada Khalid bin Walid terungkap dalam kalimat berikut:
“Sebaik-baik saudara
klan Quraisy, Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk
menghancurkan orang-orang kafir dan munafik.”
Hanya saja, suatu
ketika Rasulullah kecewa berat dengan tindakan Khalid bin Walid lantaran
kecerobohan yang berakibat menghilangkan nyawa umat Islam sendiri.
Cerita tersebut
bermula ketika Khalid bin Walid bersama pasukannya pergi ke Bani Jadzimah untuk
mengajak mereka masuk Islam.
“Masuklah agama
Islam!” perintah Khalid kepada mereka yang menyambutnya.
“Kami adalah kaum
muslimin,” sahut mereka.
“Letakkan senjata kalian dan turunlah,”
instruksi Khalid lagi.
“Tidak, demi Allah.
Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tak bisa
mempercayaimu dan orang-orang yang bersamamu.”
“Tidak ada
perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Khalid mengancam.
Akhirnya sebagian
orang Bani Jadzimah mengikuti perintah Khalid. Namun, sebagian lainnya
membangkang. Mereka tercerai berai.
Khalid lantas
bertanya, “Siapakah kalian, kaum muslimin atau kaum kafir?”
“Kami adalah kaum
muslimin yang menjalankan shalat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di
tanah lapang kami, dan mengumandangkan adzan di dalamnya,” jawab mereka.
Dalam lafaz hadits,
mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa (kami sudah masuk Islam), akhirnya
mereka mengatakan shaba’naa shaba’na (kami telah berpindah agama). Maksudnya,
berpindah dari agama lama ke Islam.
“Buat apa senjata
yang kalian bawa?” tanya Khalid.
“Ada permusuhan
antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah
mereka hingga kami pun membawa senjata,” jawab mereka.
“Letakkan senjata
kalian!” instruksi Khalid.
Mereka pun menuruti
perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai
tawanan!” kata Khalid.
Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum
untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.
Pada waktu pagi
buta, juru bicara Khalid berteriak, “Siapa pun yang memiliki tawanan, bunuhlah
ia!”
Banu Sulaim pun
membunuh tawanan mereka. Namun, kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini.
Mereka malah melepaskan para tawanan.
Peristiwa yang
terjadi di bawah kepemimpinan Khalid ini akhirnya sampai juga ke telinga
Rasulullah. Beliau menumpahkan rasa kecewanya,
“Ya Allah, aku tidak
bertanggung jawab atas perbuatan Khalid.” Nabi mengulang ucapan ini dua
kali.
Kisah ini bisa
dijumpai salah satunya dalam karya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Mafahim
Yajibu an Tushahhah (Kairo: Darul Jamwami’ al-Kalim), h. 19-20.
***
Read More : Kisah Khalid bin Walid Pedang Allah Meminum Racun
Secara sepintas
seolah tampak Khalid sebenarnya sedang menjalankan tugasnya sebagai komandan
perang yang baik. Dia menerapkan protokol keamanan yang pantas dengan melucuti
senjata Bani Jadzimah. Meskipun, mereka sesungguhnya telah menjelaskan alasan
kenapa mereka bersikukuh membawa senjata. Bani Jadzimah sendiri sedang dalam
suasana perang dengan kaum lain. Sehingga, kedatangan Khalid pun dilihat dalam
konteks politik pertempuran ini. Mereka tak percaya alias curiga dengan Khalid
dan pasukannya.
Kesalahan fatal
Khalid adalah tidak teliti dengan jawaban “shaba’na shaba’na” ketika mereka
ditanya status keislamannya. Mungkin ia mengira mereka keluar dari agama Islam.
Padahal sebaliknya. Sikap tergesa-gesa dan tidak hati-hati tersebut akhirnya
memakan korban nyawa saudaranya sendiri. Khalid memilih buru-buru menghakimi
(lawan bicaranya sebagai kafir), ketimbang berhati-hati dan menghindari
prasangka. Kecerobohan membuatnya langsung menjadikan mereka tawanan.Celakanya,
konsekuensi terburuk kemudian muncul: pembantaian. Seandainya prinsip “lebih
baik salah memaafkan daripada salah menjatuhkan hukuman” dipegang kuat-kuat,
mungkin Rasulullah tidak bakal menyesali tindakan sembrono sang pedang Allah
itu.
0 Comments